Entah ada apa dengan hari kamis legi. Tetapi hari itu menurut saya adalah hari yang sangat eksotis. Sebab banyak peristiwa penting dalam hidup saya, selalu bertepatan dengan hari kamis legi. Sebagai seorang anak jawa saya termasuk yang patuh dengan aturan yang telah diberikan oleh simbah saya, walaupun belum banyak yang saya mengerti tentang maksud dan tujuannya.
Banyak sekali peristiwa yang diambil selalu bertepatan dengan hari kamis legi. Bukan karena hari kamis legi itu adalah hari lahir saya tetapi setiap peristiwa penting dalam hidup saya selalu diambilkan pas hari kamis legi. Setiap saya perhatikan orang orang terdekat saya yang hari lahirnya kamis legi orangnya berjiwa ksatria dan mempunyai jiwa pemimpin.
Sebagai contoh adik saya yang lahirnya bertepatan dengan hari kamis legi, saya perhatikan semua tingkah lakunya dari kecil selalu menunjukan jiwa kepemimpinan. Berbeda dengan saya yang hanya mempunyai sifat penurut tetapi tetap kritis :D.
Dalam hal pekerjaan menurut saya dia juga bisa diandalkan. Pekerjaannya tergolong rapi dan mau belajar yang tidak dia bisa.
Demikian sedikit cerita tentang hari kamis legi yang tetap eksotis menurut saya.
Kabut Gelap Di Hatiku.
Kabut ini telah tebal menutup hati ini. Sadar bahwa hati ini telah ternoda oleh tebalnnya kabut. Namum semakin hari semakin aku tak berdaya untuk membuka kabut yang telah menyelimuti dan hingga merasuk kedalam hati ini. Gelap rasanya setiap yang aku lihat. Gelap rasanya setiap langkah ini. Hingga setiap langkahku ragu bercampur keegoisanku tetap menerjang yang terlihat gelap itu. Tak tau apa hasil yang akan diperoleh yang penting langkahku semakin jauh dari tempatku beranjak. Hanya kepuasan diatas kehampaan yang kini aku rasakan. Kehampaan dan kehambaran hidup yang tak jelas. Karena setiap langkah memang begitu berat kurasakan.
Setiap kali aku melihat kebelakang, kurasakan seperti ada yang mengejar hingga langkahku lebih ku percepat lagi. Walaupun didepan sana juga masih tak jelas. Kabut gelap ini selalu menaungi setiap gerak langkahku.
waktu begitu cepat datang dan pergi. hanya kerugian hidup yang selalu aku rasakan Walaupun selalu terbayar oleh kepuasan namun kepuasan yang dirasakan adalah kepuasan hampa. Setiap saat setiap waktu kabut ini semakin tebal dan semakin menutupi setiap sisi hati ini.
Bendungan Batu Tegi Lampung
Bendungan Batu Tegi dibangun pada sungai sekampung ± 65 Km sebelah hulu bendung Argoguruh atau ± 90 sebelah Barat Daya Kota Bandar Lampung. Sumber Dana untuk pelaksanaan pembangunan waduk Batutegi berasal dari dana APBN dan LOAN OECF. Pelaksanaan proyek terdiri dari : Study Kelayakan pada tahun 1978,Detail Desain diselesaikan pada tahun 1983. Pekerjaan Riview design dan supervisi Pelaksanaan dimulai bulan pebruari 1994 dan pelaksanaan pekerjaan terowongan dimulai Tahun 1995. Pelaksanaan pekerjaan Bendungan dimulai pada tahun 1996 dan selesai tahun 2000.
Tujuan Dan Manfaat Bendungan Batu Tegi
1. Peningkatan areal persawahan.
2. PLTA.
3. Penyediaan air baku untuk air minum.
4. Pengendalian Banjir, Parawisata, Perikanan dan lain-lain
DATA BENDUNGAN
- Tipe Bendungan : Timbunan Batu Dgn Inti Tanah Kedap Air.
- Panjang Puncak Bendungan : 690.00 m
- Elevasi Puncak Bendungan : + 283.00 m
- Lebar Puncak Bendungan : 12.00 m
- Tinggi Max. diatas dasar sungai : 120.00 m
- Volume timbunan : 9 x 106 m3
- Tipe Bangunan Pelimpah : Pelimpah Bebas ( Tanpa Pintu ) dengan Terowongan
- Tipe Terowongan Pengelak : Penampang Lingkaran Berlapis beton bertulang
- Tipe Intake : Pengambilan Miring
- Jenis Katup irigasi : Kerucut Tetap (fixed cone) (baca lebih sedikit)
Bendungan ini tepatnya berada di kabpaten Tanggamus, Lampung Selatan, sekitar 4jam perjalanan dari Pelabuhan Bakauheni.
Bagi anda yang belum pernah kesana perlu dicoba sekali kali untuk berkunjung ke wisata bendungan tersebut. Dijamin anda akan ditakjubkan dengan pemandangan alam sekitar dan kawasan yang begitu sejuk dan nikmat untuk dinikmati.
Demikian sekilas tentang Bendungan Batu Tegi Lampung semoga bisa menjadi referensi liburan anda sekeluarga.
galau ketika harapan sudah didepan mata
Mungkin ungkapan yang tepat untuk kondisiku saat ini adalah seperti pada judul diatas. Sebab apa yang sekarang saya rasakan adalah seperti itu. Namun aku tak boleh gentar dengan semua ini walaupun semua masih tampak kelabu. Kekelabuan itu membuatku bertanya tanya apa yang akan terjadi padaku nanti. Memang inilah yang selama ini saya inginkan namun kenapa langkah ini terasa berat untuk menuju kepada keinginan itu.
Apa ini yang dinamakan belum siap, namun sebenarnya aku sudah mempersiapkan sejak awal aku meniti harapan. Apakah kurang kesempurnaannya persiapan saya itu,,tapi bukankah tiada yang sempurna didunia ini selain TUHAN yang maha sempurna.
Apakah memang sesuatu didunia ini penuh dengan teka teki yang harus dipecahkan seiring berjalanya waktu.
Separuh perjalanan hidupku telah aku lewati hanya dengan kebasa basian yang tak ada wujudnya. Sekarang setiap gerak dan langkahku aku hanya berusaha untuk menjadi insan manusia yang melakukan kewajiban sebagai seorang yang menjalani hidup di dunia ini.
Duh Tuhanku harapanku semoga kau jaga setiap helai nafasku dari perbuatan yang akan membebaniku sekarang dan nanti.
SECUIL UNGKAPAN JAWA
Beberapa Ungkapan Jawa :
“Ngelmu iku kalakone kanthi laku” (bila ingin pandai harus belajar). Ini
berarti bahwa bila ingin pandai, seorang anak didik dalam keluarga harus
belajar keras. Hal ini dapat disamakan dengan ungkapan “Jer basuki mawa
beya” (keberhasilan seseorang diperoleh dengan pengorbanan).
“Nulodho laku utomo” (mencontoh perbuatan yang baik). Ini berarti semua
anggota keluarga harus mencontoh pada perbuatan yang utama dan yang baik.
“Ngono ya ngono, ning aja ngono” (demikian ya demikian, tetapi jangan
demikian). Ini berarti berbuat boleh, berbicara boleh juga, tetapi jangan
sampai menyakiti hati dan perasaan orang lain. Atau dalam berbuat jangan
melewati wewenangnya. Ungkapan ini untuk mengendalikan diri, jangan berbuat
melebihi wewenangnya dan jika berbicara jangan orang lain tersinggung.
“Aja NGgugu karepe dewe” (jangan berbuat sekehendak sendiri). Atau “Aja
nuhoni benere dewe” (jangan merasa benar sendiri). Atau “Aja mburu menange
dewe” (jangan mengejar/merasa menang sendiri). Ungkapan tersebut di atas
sifatnya memperingatkan dalam keluarga atau lebih luas dalam masyarakat
agar jangan menganggap dirinya yang paling benar, dalam tingkah laku,
kepandaian dan kebijakan, pendapatdan lain sebagainya.
“Mikul dhuwur mendhem jero” (memikul tinggi menanam dalam). Artinya orang
yang senantiasa bertanggungjawab kepada keluarga dengan membawa nama baik
keluarga atau orang tua. Dengan menjunjung derajat orang tua si anak akan
harum namanya.
“Kacang mangsa ninggal lanjaran” (kacang tidang mungkin meninggalkan
jalur). Maksudnya, watak dan tingkah laku anak biasanya mirip dengan
tingkah laku orang tua. Ini berarti bahwa orang tua harus yang baik kepada
anak-anaknya agar anak-anaknya selalu merasa nyaman dalam kehidupan
keluarga.
“Kaya mimi lan mintuno” (seperti sepasang ikan mimi dan mintuna). Artinya
kasih sayang ayah dan ibu, tidak bercerai-berai atau tidak dapat diceraikan
dan selalu rukun. Kasih sayang ibu dan ayah, dapat digeser ke kasih sayang
adik-kakak, orang tua-anak dan sebaliknya anak harus hormat kepada orang
tua dan berbakti agar dalam keluarga tidak terjadi pertengkaran.
“Wong bodho dadi pangane wong pinter” (orang yang bodoh menjadi objek
rejeki orang yang pinter). Ungkapan ini menggambarkan perubahan dalam
idealisme dan cara pendidikan keluarga yang berlainan. Dalam keadaan
sekarang generasi muda harus rajin belajar, menjadi orang yang pandai untuk
kesuksesan hidupnya.
Budaya memang tidak lepas dari karya sastra,,,,dan secuil ungkapan jawa itu pun bisa disebut sebagai hasil karya sastra yang sungguh dalam makna dan isinya, dan sungguh membangun jika diterapkan pada kehidupan kita.
“Ngelmu iku kalakone kanthi laku” (bila ingin pandai harus belajar). Ini
berarti bahwa bila ingin pandai, seorang anak didik dalam keluarga harus
belajar keras. Hal ini dapat disamakan dengan ungkapan “Jer basuki mawa
beya” (keberhasilan seseorang diperoleh dengan pengorbanan).
“Nulodho laku utomo” (mencontoh perbuatan yang baik). Ini berarti semua
anggota keluarga harus mencontoh pada perbuatan yang utama dan yang baik.
“Ngono ya ngono, ning aja ngono” (demikian ya demikian, tetapi jangan
demikian). Ini berarti berbuat boleh, berbicara boleh juga, tetapi jangan
sampai menyakiti hati dan perasaan orang lain. Atau dalam berbuat jangan
melewati wewenangnya. Ungkapan ini untuk mengendalikan diri, jangan berbuat
melebihi wewenangnya dan jika berbicara jangan orang lain tersinggung.
“Aja NGgugu karepe dewe” (jangan berbuat sekehendak sendiri). Atau “Aja
nuhoni benere dewe” (jangan merasa benar sendiri). Atau “Aja mburu menange
dewe” (jangan mengejar/merasa menang sendiri). Ungkapan tersebut di atas
sifatnya memperingatkan dalam keluarga atau lebih luas dalam masyarakat
agar jangan menganggap dirinya yang paling benar, dalam tingkah laku,
kepandaian dan kebijakan, pendapatdan lain sebagainya.
“Mikul dhuwur mendhem jero” (memikul tinggi menanam dalam). Artinya orang
yang senantiasa bertanggungjawab kepada keluarga dengan membawa nama baik
keluarga atau orang tua. Dengan menjunjung derajat orang tua si anak akan
harum namanya.
“Kacang mangsa ninggal lanjaran” (kacang tidang mungkin meninggalkan
jalur). Maksudnya, watak dan tingkah laku anak biasanya mirip dengan
tingkah laku orang tua. Ini berarti bahwa orang tua harus yang baik kepada
anak-anaknya agar anak-anaknya selalu merasa nyaman dalam kehidupan
keluarga.
“Kaya mimi lan mintuno” (seperti sepasang ikan mimi dan mintuna). Artinya
kasih sayang ayah dan ibu, tidak bercerai-berai atau tidak dapat diceraikan
dan selalu rukun. Kasih sayang ibu dan ayah, dapat digeser ke kasih sayang
adik-kakak, orang tua-anak dan sebaliknya anak harus hormat kepada orang
tua dan berbakti agar dalam keluarga tidak terjadi pertengkaran.
“Wong bodho dadi pangane wong pinter” (orang yang bodoh menjadi objek
rejeki orang yang pinter). Ungkapan ini menggambarkan perubahan dalam
idealisme dan cara pendidikan keluarga yang berlainan. Dalam keadaan
sekarang generasi muda harus rajin belajar, menjadi orang yang pandai untuk
kesuksesan hidupnya.
Budaya memang tidak lepas dari karya sastra,,,,dan secuil ungkapan jawa itu pun bisa disebut sebagai hasil karya sastra yang sungguh dalam makna dan isinya, dan sungguh membangun jika diterapkan pada kehidupan kita.
Syeh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap Sufi dan juga salah satu penyebar agama Islam di pulau Jawa yang sangat kontroversial di Jawa, Indonesia.
Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya, di masyarakat,
terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti.
Akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah
intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajaran -
ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya. Meskipun demikian, ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti.
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang bertentangan dengan cara hidup Walisongo. Pertentangan praktek sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
Konsep dan AjaranAjaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan
dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti
Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai
kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian
justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi.
Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat
keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak termasuk didalamnya
hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah. Dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Siti Jenar bahwa manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah
itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang
dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu. Mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam sekitar abad ke-9 Masehi) tentang Hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat manusia
dan Tuhan. Dimana Pemahaman ketauhidan harus dilewati melalui 4
tahapan ; 1. Syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama spt sholat,
zakat dll); 2. Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid,
dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu; 3. Hakekat, dimana hakekat
dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan; dan 4. Ma'rifat,
kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Bukan berarti bahwa
setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut maka tahapan dibawahnya
ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para
ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syech
Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami setelah melewati ratusan tahun
pasca wafatnya sang Syech. Para ulama mengkhawatirkan adanya
kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syech Siti
Jenar kepada masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran Islam yang
harus disampaikan adalah pada tingkatan 'syariat'. Sedangkan ajaran
Siti Jenar sudah memasuki tahap 'hakekat' dan bahkan 'ma'rifat'kepada
Allah (kecintaan yang sangat kepada ALLAH). Oleh karenanya, ajaran yang
disampaikan oleh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan kata 'SESAT'.
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus berdebat
masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apapun, setiap
pemeluk sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa.
Hanya saja masing - masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda
- beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh
karena itu, masing - masing pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk
mendapat pengakuan bahwa agamanya yang paling benar.
Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih
mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang
beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa
disebut ikhlas.
Manunggaling Kawulo Lan GustiDalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti
dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya, melainkan
bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan
kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan
Tuhannya.
Dan dalam ajarannya, 'Manunggaling Kawula Gusti' adalah bahwa di
dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai
dengan ayat Al Qur'an yang menerangkan tentang penciptaan manusia ("Ketika
Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan
manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan
Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan
bersujud kepadanya (Shaad; 71-72)")>. Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi.
Perbedaan penafsiran ayat Al Qur'an dari para murid Syekh Siti
inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam
ruh Tuhan, yaitu polemik paham 'Manunggaling Kawula Gusti'.
Hamemayu Hayuning BawonoPrinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil alamin. Seorang dianggap muslim, salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya dan bukannya menciptakan kerusakan di bumi.
KontroversiKontroversi
yang lebih hebat terjadi di sekitar kematian Syekh Siti Jenar.
Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para
pejabat kerajaan Demak Bintoro.
Di sisi kekuasaan, Kerajaan Demak khawatir ajaran ini akan berujung
pada pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga adalah keturunan elite Majapahit (sama seperti Raden Patah) dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam,
Walisongo yang menopang kekuasaan Demak Bintoro, khawatir ajaran ini
akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat.
Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan satu tindakan bagi Syekh
Siti Jenar yaitu harus segera menghadap Demak Bintoro. Pengiriman
utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat
ternyata tak cukup untuk dapat membuat Siti Jenar memenuhi panggilan
Sri Narendra Raja Demak Bintoro untuk menghadap ke Kerajaan Demak.
Hingga konon akhirnya para Walisongo sendiri yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Siti Jenar berada.[rujukan?]
Para Wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati
bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima
wali tersebut dengan Siti Jenar. Menurut Siti Jenar, kelima wali
tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuh Siti Jenar. Karena
beliau dapat meminum tirtamarta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menjelang kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.[rujukan?]
Tak lama, terbujurlah jenazah Siti Jenar di hadapan kelima wali.
Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak keempat muridnya
yang benar-benar pandai yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo dan Ki Pringgoboyo pun mengakhiri "kematian"-nya dengan cara yang misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.[rujukan?]
Kisah pada saat Pasca KematianTerdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak beribu bunga dan cahaya kilau kemilau memancar dari jenazah Siti Jenar.
Jenazah Siti Jenar sendiri dikuburkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain.
Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya
yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki. Di
antaranya yang terceritakan adalah Kiai Lonthang dari Semarang Ki Kebokenanga dan Ki Ageng Tingkir.
sumber: wikipedia.org
Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya, di masyarakat,
terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti.
Akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah
intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajaran -
ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya. Meskipun demikian, ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti.
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang bertentangan dengan cara hidup Walisongo. Pertentangan praktek sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
Konsep dan AjaranAjaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan
dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti
Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai
kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian
justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi.
Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat
keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak termasuk didalamnya
hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah. Dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Siti Jenar bahwa manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah
itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang
dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu. Mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam sekitar abad ke-9 Masehi) tentang Hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat manusia
dan Tuhan. Dimana Pemahaman ketauhidan harus dilewati melalui 4
tahapan ; 1. Syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama spt sholat,
zakat dll); 2. Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid,
dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu; 3. Hakekat, dimana hakekat
dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan; dan 4. Ma'rifat,
kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Bukan berarti bahwa
setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut maka tahapan dibawahnya
ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para
ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syech
Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami setelah melewati ratusan tahun
pasca wafatnya sang Syech. Para ulama mengkhawatirkan adanya
kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syech Siti
Jenar kepada masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran Islam yang
harus disampaikan adalah pada tingkatan 'syariat'. Sedangkan ajaran
Siti Jenar sudah memasuki tahap 'hakekat' dan bahkan 'ma'rifat'kepada
Allah (kecintaan yang sangat kepada ALLAH). Oleh karenanya, ajaran yang
disampaikan oleh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan kata 'SESAT'.
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus berdebat
masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apapun, setiap
pemeluk sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa.
Hanya saja masing - masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda
- beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh
karena itu, masing - masing pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk
mendapat pengakuan bahwa agamanya yang paling benar.
Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih
mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang
beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa
disebut ikhlas.
Manunggaling Kawulo Lan GustiDalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti
dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya, melainkan
bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan
kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan
Tuhannya.
Dan dalam ajarannya, 'Manunggaling Kawula Gusti' adalah bahwa di
dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai
dengan ayat Al Qur'an yang menerangkan tentang penciptaan manusia ("Ketika
Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan
manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan
Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan
bersujud kepadanya (Shaad; 71-72)")>. Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi.
Perbedaan penafsiran ayat Al Qur'an dari para murid Syekh Siti
inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam
ruh Tuhan, yaitu polemik paham 'Manunggaling Kawula Gusti'.
Hamemayu Hayuning BawonoPrinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil alamin. Seorang dianggap muslim, salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya dan bukannya menciptakan kerusakan di bumi.
KontroversiKontroversi
yang lebih hebat terjadi di sekitar kematian Syekh Siti Jenar.
Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para
pejabat kerajaan Demak Bintoro.
Di sisi kekuasaan, Kerajaan Demak khawatir ajaran ini akan berujung
pada pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga adalah keturunan elite Majapahit (sama seperti Raden Patah) dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam,
Walisongo yang menopang kekuasaan Demak Bintoro, khawatir ajaran ini
akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat.
Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan satu tindakan bagi Syekh
Siti Jenar yaitu harus segera menghadap Demak Bintoro. Pengiriman
utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat
ternyata tak cukup untuk dapat membuat Siti Jenar memenuhi panggilan
Sri Narendra Raja Demak Bintoro untuk menghadap ke Kerajaan Demak.
Hingga konon akhirnya para Walisongo sendiri yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Siti Jenar berada.[rujukan?]
Para Wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati
bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima
wali tersebut dengan Siti Jenar. Menurut Siti Jenar, kelima wali
tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuh Siti Jenar. Karena
beliau dapat meminum tirtamarta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menjelang kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.[rujukan?]
Tak lama, terbujurlah jenazah Siti Jenar di hadapan kelima wali.
Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak keempat muridnya
yang benar-benar pandai yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo dan Ki Pringgoboyo pun mengakhiri "kematian"-nya dengan cara yang misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.[rujukan?]
Kisah pada saat Pasca KematianTerdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak beribu bunga dan cahaya kilau kemilau memancar dari jenazah Siti Jenar.
Jenazah Siti Jenar sendiri dikuburkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain.
Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya
yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki. Di
antaranya yang terceritakan adalah Kiai Lonthang dari Semarang Ki Kebokenanga dan Ki Ageng Tingkir.
sumber: wikipedia.org
Subscribe to:
Posts (Atom)